MAKALAH KEPERAWATAN NEUROBEHAVIOR II
“ASKEP KLIEN DENGAN SINDROMA
GUILLAIN BARRE”
DI SUSUN OLEH KELOMPOK: I
(SATU)
SEMESTER IV. D
·
ARDI WIRANTO (01)
·
ARI AFRIAN (02)
·
ARIANTO (03)
·
ASWINDA
LESTARI (04)
·
AYU INDA
PITASARI (05)
·
AYUNDARI
VITRI ARIANTI (06)
·
BIRNA PRATAMA
P. (07)
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Neurobehavior ini dengan judul “Askep Sindrom Guillain Barre”. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Neurobehavior II Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Mataram.
Dalam menyusun makalah ilmiah ini, kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan kepada teman teman yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Mataram,
12 Mei 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER………………..………………………………………………………....….i
KATA
PENGANTAR………………………………………………………….......ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....….iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
…………………………………………………...............1
B.
Tujuan ………..…………………...…...………………………………....2
C.
Rumusan Masalah
…………………………………………………...……2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
……………………………………………...………….……...3
B.
Etiologi …………………………………………………………….…...3-4
C.
Tanda dan Gejala
………………………………………….………...…5-6
D.
Patofisiologi
…………….………………………………………....……6-9
E.
Pathway
…………………………………...……………………….……10
F.
Komplikasi
……………………………………………………………...11
G.
Penatalaksanaan
………………………………………………….….11-14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN LEUKEMIA
1.
Pengkajian …………………………………………………...…15-20
2.
Diagnosa Keperawatan
……………………………………...…….21
3.
Intervensi
……………………………………………….………21-25
BAB IV PENUTUP
3.1 Kesimpulan
………………………………………………….....................26
3.2 Saran……………………………………………………………................27
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………....……...28
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang
polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut,
polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma
Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem
saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS
termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer.
GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negara–negara berkembang
dan merupakan penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai
pada dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih
sering dijumpai pada laki – laki dari pada perempuan. Puncak yang agak
tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang
pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit
febris ringan 2-3 minggu sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari
pernapasan atau gastrointestinal.
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 iga puluh persen%
penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan
hidup, sementara 5% pesampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50%
kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Tnderita akan
meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita
sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan
ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai
sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan
permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko
mengalami relaps.
B.
TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk
mendukung kegiatan belajar-mengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata
kuliah keperawatan Neurobehavior II tentang asuhan keperawatan klien dengan
infeksi dan inflamasi system saraf pusat.
2. TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penulis dalam menyusun makalah ini agar mahasiswa
mengetahui bagaimana asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan
inflamasi system saraf pusat: Sindrom Guillain Bare, mengetahui penyebab,
patofisiologi, tanda dan gejala, komplikasi yang mungkin terjadi, serta
penatalaksanaan dari klien yang mengalami sindrom Guillain Bare.
C.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian dari sindrom guillain barre.
2.
Bagaimana penyebab terjadinya sindrom guillain barre.
3.
Apa saja tanda dan gejala dari sindrom guillain barre.
4.
Bagaimana patofisiologi sindrom guillain barre.
5.
Apa saja komplikasi dari sindrom guillain barre.
6.
Bagaimana penatalaksanaan untuk klien guillain barre.
7.
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang mengalami sindrom
guillain barre.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang
diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem
imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya
disfungsi motorik, sensorik, dan otonom.
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute
Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut
sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu
penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama
mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang
didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas
tubuh menyerang sel saraf.
B.
ETIOLOGI
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
SGB, antara lain:
·
Infeksi
·
Vaksinasi
·
Pembedahan
·
Penyakit sistematik :
Keganasan
Systemic
lupus erythematosus
Tiroiditis
Penyakit
Addison
·
Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB
sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal
Salah
satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang
menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi
|
Definite
|
Probable
|
Possible
|
Virus
|
CMVEBV
|
HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox
|
InfluenzaMeaslesMumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
|
Bakteri
|
Campylobacter Jejeni Mycoplasma
Pneumonia
|
Typhoid
|
Borrelia
BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
|
C.
TANDA DAN GEJALA
1.
Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas
tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari
kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota
gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak
dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia
atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih
berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal
lebih berat dari bagian proksimal.
2.
Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas,
muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas
proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktifitas fisik.
3.
Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.
Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera
menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan
berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan
pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4.
Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 .
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi,
muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi,
hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau
inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap
lebih dari satu atau dua minggu.
5.
Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini
disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang
dijumpai pada 10-33 persen penderita
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang .
D.
PATOFISIOLOGI
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan
dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah
bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit
yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang
benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai
menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau
bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori
mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang
dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi
virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf,
sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme
tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan
makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan
limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin
dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang
dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa
akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip
dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin
bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung
ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot
dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu
jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini
merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan
diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini,
transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri
ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin
serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi
pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan
mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil
myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu
bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal
melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal
ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya,
fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal,
serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak
dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri
dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan
sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta
kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer
motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul
kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik,
kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS
dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis
tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi
akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu
atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah
tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel
saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam
beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam
proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi
yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat
ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area
tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering
setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena
regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin,
yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka
panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta
selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama
demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
E. PATHWAY
F.
KOMPLIKASI
1.
Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.
2.
Tetraparese oleh karena penyebab lain.
3.
Hipokalemia.
4.
Kelumpuhan otot pernafasan
5.
Dekubitus.
6.
Paralisis otot persisten
7.
Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
8.
Aspirasi
9.
Retensi urin
10.
Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
11.
Nefropati, pada penderita anak
12.
Tromboemboli, pneumonia, ulkus
13.
Aritmia jantung
14.
Ileus
G.
PENATALAKSANAAN
Tujuan
utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan pemeliharaan
fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa,
mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis
untuk pasien dan keluarga.
1. Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler
Jika
vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik.
Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari
ventilator dalam beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai
kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan
terjadi. Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi
perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta
frekuensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat.
Pemantauan jantung akan memungkinkan disritmia teridentifikasi dan diobati
dengan depat. Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh Valsava maneuver,
batuk, suksioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus
dilakukan dengan sangat hati-hati.
2. Plasmaferesis
Plasmaferesis
dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk menyingkirkan
antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara
selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma
diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat
pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati
keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah
dalam 2 minggu.
3. Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan
nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan SGB. Nyeri otot
hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit stimulasi
listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri
merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara.
Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan
narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak
mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal
pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan
narkotik.
4. Nutrisi
Nutrisi
yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per oral,
dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter
dan perawat.
5. Gangguan tidur
5. Gangguan tidur
Gangguan
tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan ini,terutama
karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang memberikan
kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis, mematikan lampu,
memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu untuk meningkatkan tidur
dan istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien yang mengalami paralise
dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam
hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah.
Harus disediakan cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia
dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat
membantu mengatasi ketakutan.
6. Dukungan emosional
Ketakutan,
keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan
keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur
tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus
diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan
pemulihan. Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena
mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil
secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk
membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama pasien.
Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan keluarga rasa
aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi dengan
konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara.
ü TERAPI FARMAKOLOGI
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan
medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah
pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan
secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat
sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan
angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih
pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam
7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala
(minggu pertama).
3. Pengobatan
imunosupresan:
- Imunoglobulin
IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
- Obat
sitotoksik
Pemberian obat sitoksik
yang dianjurkan adalah:
6
merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine
Cyclophosphamid
Efek samping dari
obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
SINDROM GUILLAIN BARE
A.
PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian
psikososial.
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan
terus-menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam
kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui
pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda
dan emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Anamnesis
- Identitas
klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama,
pendidikan, dsb.
- Keluhan
utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum
maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
- Riwayat
Penyakit, meliputi:
1. Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul,
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir
sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya
adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan gangguan
sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung
atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan
klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian
obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk
menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya
pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat
penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
- Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan
masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat
stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya
hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah,
yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi
pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.
b. Pemeriksaan
Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan
denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung.
Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi
sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau
TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis.
- B1
(Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS
adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi
sekret dari infeksi saluran napas.
- B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien
GBS didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan
darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat (
hipertensi transien ) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
- B3 (Brain)
Merupakan pengkajian
focus meliputi :
a. Tingkat
kesadaran
Pada
klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien mengalami
penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan
sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi
serebri
Status
mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS
tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien
mengalam perubahan.
c. Pemeriksaan
saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada
klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
Saraf II. Tes ketajaman
penglihatan pada kondisi normal.
Saraf
III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralis
ocular.
Saraf
V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah.
Saraf
VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak
ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf
IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan.
Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf
XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan trapezius.kemampuan
mobliisasi leher baik.
Saraf
XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan normal.
d. System
motorik
Kekuatan
otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut
mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
menggaganggu moblitas fisik .
e. Pemeriksaan
reflexs
Pemeriksaan
reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum derajat reflexs
dalam respons normal.
f. Gerakan
involunter
Tidak ditemukan adanya
tremor, kejang, Tic,dan distonia.
g. System
sensorik
Parestesia
( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
- B4
(Bladder)
Terdapat penurunan volume
haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
- B5 (Bowel)
Mual
sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot
pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang
terpenuhi.
- B6 (Bone)
Penurunan
kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas pasien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak dibantu
orang lain.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat
bergantung pada :
Riwayat
penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
Lumbal
pungs dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan pada
mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya peningkatan
konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.
Pemeriksaan
konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujan
elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
Sekitar
25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus
atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respons imun pada
antigen saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
Uj
fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan
nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas
pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul yakni :
- Pola napas tidak efektif yang
berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan
ancaman gagal pernapasan
- Resiko tinggi penurunan curah
jantung yang berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan konduksi
listrik jantung.
- Resiko gangguan nutrisi :
kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan
mengunyah dan menelan makanan.
- Gangguan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan
penurunan kesadaran.
- Cemas yang berhubungan dengan
kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.
C.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan
progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
|
|
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola
napas kembali efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR
16-20x/menit. Tidak menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama
dan kedalaman, penggunaan otot bantu pernapasan
|
Menjadi parameter monitoring serangan gagal napas dan menjadi
data dasar intervensi selanjutnya
|
Evaluasi keluhan sesak napas bak secara verbal maupun nonverbal
|
Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal dan ireguler,takikardia dan perubahan pola napas.
|
Beri ventilasi mekanik
|
Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas
vital, klien memperlihatkan perkembangan kearah kemunduran, yang
mengndikasikan kearah memburuknya kekuatan otot pernapasan
|
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
|
Penurunan kapasitas vital dhubungkan dengan kelemahan otot-otot
pernapasan saat menelan,sehingga hal ini menyebabkan kesukaran saat batuk dan
menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan.
|
Kolaborasi :
Pemberian humidifikasi
oksigen 3L/Menit
|
Membantu pemenuhan oksigen
yang sangat dperlukan tubuh dengan kondisi laju metabolism sedang meningkat
|
Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
|
|
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Criteria hasil : stabilitas hemodinamik baik
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan
berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan
|
Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi ventrikel,
hipertensi juga fenomena umum karena nyeri cemas pengeluaran katekolamin.
|
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi
|
Penurunan curah
jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi.
|
Catat murmur
|
Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung, (kelainan
katup, kerusakan septum, atau fibrasi otot papilar).
|
Pantau frekuensi jantung dan irama
|
Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi
disritma.
|
Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi
|
Dapat meningkatkan saturasi oksgean dalam darah
|
Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
|
|
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi
komplikasi akibat penurunan asupan nutrisi
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi klien oral
|
Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan
pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan.
|
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisisensi
aktivitas parasimpatis
|
Ilius paralisis dapat
disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini,
makanan melalui intravena dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan
perawat mementau bising usus sampai terdengar
|
Berikan nutrisi via NGT
|
Indikasi jika klien tidak mampu menelan melalui oral
|
Berikan nutrisi via oral bila paralis menelan berkurang
|
Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan
perlahan-lahan dan sangat hati-hati
|
Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran
|
|
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan
mobilitas klien meningkat atau teradaptasi
Criteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi
thrombosis vena profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis
yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan mobilitas fisik
|
Merupakan data dasar untuk melakukan intervensi selanjutnya
|
Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien dalam pemenuhan
aktivitas sehari-hari
|
Bila pemulihan mulai
untuk dlakukan, klien dapat hipotensi ortostatik ( dari
disfungsi otonom ) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk
menolong mereka mengambil posisi duduk tegak
|
Hindari factor-faktor yang memungkinkan terjadinya trauma pada
saat klien melakukan mobilisasi
|
Individu paralisis
mempunyai kemungkinan mengalalmi kompresi neuropati, paling sering saraf
ulnar dan peritonial
|
Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis
|
Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan
memberikan latihan rentang gerak secara pasif paling sedikit dua
kali sehari
|
Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
|
Deteksi awal thrombosis vena profunda dan dekubitus sehingga dengan
penemuan yang cepat penanganan lebih mudah dilaksanakan.
|
Kolaborasi dengan tim fisisoterapis
|
Mencegah deformities kontraktur dengan menggunakan pengubahan
posisi yang hati-hati dean lathan rentang gerak
|
Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis
penyakit yang buruk
|
|
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi
kecemasan hilang atau berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab atau factor yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
|
|
Intervensi
|
Rasonal
|
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan
takut
|
Cemas berkelanjutan dapat memberikan dampak serangan jantung
selanjutnya
|
Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingi klien, dan
lakukan tundakan bila menunjukkan perilaku merusak
|
Reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi,
marah dan gelisah
|
Hindari konfrantasi
|
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja
sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan
|
Mulai melakukan tindakkan untuk mengurangi kecemasan. Beri
lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat
|
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
|
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan
|
Orientasi dapat menurunkan kecemasan
|
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
o Sindroma Landry Guillain
Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan
biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut.
o Sindroma ini dapat
disebabkan oleh adanya Infeksi, Vaksinasi, Pembedahan, Penyakit
sistematik.
o Kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma Guillain bare adalah melalui mekanisme imunlogi.
o Manifestasi Klinis dari
Sindrom Guillain Bare ini, antara lain: kelumpuhan, gangguan sensibilitas,
gangguan saraf kranial, gangguan fungsi otonom, kegagalan pernapasan, dan
papiledema.
o Asuhan keperawatan
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi.
o Pengkajian meliputi:
anamnesa: identitas klien, keluhan, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan diagnostic.
o Keluhan yang paling
sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling berat dari
GBS adalah gagal napas.
o Pada klien GBS biasanya
didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan
tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada
sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan.
o Beberapa diagnosa muncul
berdasarkan gejala yang terjadi pada klien yang mengalami Sindrom Guillain
Bare.
B.
SARAN
Demikian makalah ini kami susun sebagaimana mestinya semoga
bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi tim penyusun dan semua mahasiswa dan
mahasiswi kesehatan pada umumnya.
Kami sebagai penyusun menyadari akan keterbatasan kemampuan yang
menyebabkan kekurangsempurnaan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun
materi, bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya agar
makalah selanjutnya dapat lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
·
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
·
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan
holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.
·
Jukarnain.,2011.” Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Sistem Persarafan”. Makassar.
·
R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu
Bedah Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
·
http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/2003/sindroma-guillain-barre-sgb.html
·
http://srigalajantan.wordpress.com/2009/10/31/askep-sindrom-guillain-barre.html
·
http://minepoemss.blogspot.com/2010/03/sindrom-guillain-barre-sgb.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar