AYUNDARI VITRI ARIANTI NPM : 012.01.2560 SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM

Rabu, 14 Mei 2014

ASKEP PASIEN CIDERA KEPALA

MAKALAH NEUROBEHAVIOR II
ASKEP PASIEN CIDERA KEPALA







DI SUSUN OLEH KELOMPOK: 1 (SATU)
SEMESTER IV. D

1.     ARDI WIRANTO                                    (01)
2.     ARI AFRIAN                                          (02)
3.     ARIANTO                                               (03)
4.     ASWINDA LESTARI                              (04)
5.     AYU INDA PITASARI                            (05)
6.     AYUNDARI VITRI ARIANTI                 (06)
7.     BIRNA PRATAMA PANGESTU             (07)
8.     BQ. WENNY ALDIARINI                       (08)

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
ANGKATAN 2012-2013



KATA PENGANTAR


            Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Neurobehavior ini dengan judul “Askep Pasien Cedera Kepala”. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Neurobehavior II Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes        Mataram.

Dalam menyusun makalah ilmiah ini, kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan kepada teman teman yang telah mendukung        terselesaikannya makalah        ini.

Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

                                                                                    Mataram,  Maret 2014

                                                                                                Penyusun





DAFTAR ISI

COVER………………..……………………………………………………….….i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….….iii
BAB I  PENDAHULUAN
1.1.1        Latar Belakang ………………………………………………….......1-2
1.1.2        Tujuan Penulisan ………..…………………...…...………………......2
BAB II  PEMBAHASAN
A.       Definisi ……………………………………………...…………….……...3
B.        Anatomi Fisiologi ………………………………………………...……4-6
C.        Etiologi …………………………………………………………...…....7-9
D.       Patofisiologi …………….………………………………………….…9-10
E.        Pathway …………………………………...……………………………11
F.         Tanda dan Gejala ….……………………….....................................11-13
G.       Test Diagnostik ……………………………………………………..13-15
H.       Penatalaksanaan Medis ………………………………………..……15-16
I.          Komplikasi ……………………………………………………………..16
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PNEUMONIA
                                          1.      Pengkajian ……………………………………………………...17-18
                                          2.      Diagnosa Keperawatan ……………………………………...…….18
                                          3.      Intervensi ……………………………………………….………19-24
                                          4.      Evaluasi ……………………………………………………………25
BAB III  PENUTUP
            3.1 Kesimpulan ………………………………………………….................26
            3.2 Saran…………………………………………………………….............26
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..27




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

       Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada kepala di Indonesia. Beberapa Rumah Sakit ada yang memakai istilah cedera kepala dan cedera otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena memakai gradasi responds Glaso Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di kepala.   
 Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal neuruanatomi, neurofisiologi, neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bias sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien dengan cedera kepala. 
Cedera kepala meliputi trauma kepala,tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium atau helem yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.        
Efek-efek ini harus dihindaridan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang paling serius diantara penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua klien cedera kepala berat mempunyai signifikan cedera terhadap bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera pada bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai responds terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.         

B.    TUJUAN PENULISAN

1.    Tujuan Umum     
Setelah membahas tentang  “Asuhan Keperawatan Pada Klien  Cedera Kepala” mahasiswa mampu memahami “Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Kepala”.

2.    Tujuan Khusus    
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan Cedera Kepala”  mahasiswa mampu :
a.    Memahami dan menjelaskan Konsep Penyakit Cedera Kepala.
b.    Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Cedera Kepala.






BAB II
LANDASAN TEORI
1.      Definisi
            Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
            Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96).
            Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91).
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di bagi menjadi 3 gradasi :
  1. Cedera kepala ringan (CKR)   = GCS 13-15
  2. Cedera kepala sedang (CKS)  = GCS 9-12
  3. Cedera kepala berat (CKB)     = GCS ≤ 8

2.      Anatomi Fisiologi
 Otak dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan yaitu:
  1. Duramater   : Lapisan luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat yang bersifat liat, tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu.
  2. Arachnoid   : Membran bagian tengah, bersifat tipis dan lembut. Berwarna putih karena tidak dialiri darah, terdapat pleksus khoroid yang memproduksi cairan serebrospinal (CSS) terdapat villi yang mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke dalam sistem (akibat trauma, aneurisma, stroke).
  3. Piamater      : Membran paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan otak.
Serebrum, terdiri dari 4 lobus, yaitu:
  1. Lobus frontal     : Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian, dan menahan diri. Lobus terbesar.
  2. Lobus parietal    : Lobus sensori, area ini menginterpretasikan sensasi, mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
  3. Lobus temporal  : Sensasi kecap, bau, dan pendengaran, ingatan jangka pendek.
  4. Lobus oksipital   : menginterpretasikan penglihatan.
Diensefalon, terdiri dari talamus, hipotalamus, dan kelenjar hipofisis.
  1. Talamus                  : Pusat penyambung sensasi bau dan nyeri.
  2. Hipotalamus           : Bekerja sama dengan kelenjar hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan mempertahankan pengaturan suhu tubuh. Sebagai pusat lapar dan mengontrol BB, pengatur tidur, tekanan darah, perilaku agresif, seksual, respon emosional.
  3. Kelenjar hipofisis    : Dianggap sebagai master kelenjar, karena sejumlah hormon dan fungsinya diatur oleh kelenjar ini. hipofisis lobus anterior memproduksi hormon pertumbuhan, hormon prolaktin, TSH, ACTH, LH. Lobus posterior berisi hormon ADH.
Batang otak, terdiri dari otak tengah, pons, medula oblongata.
  1. Otak tengah/mesencephalon, bagian yang menghubungkan diencephalon dan pons. Fungsi utama menghantarkan impuls ke pusat otak yang berhubungan dengan pergerakan otot, penglihatan dan pendengaran.
  2. Pons: Menghantarkan impuls ke pusat otak.
  3. Medula oblongata, merupakan pusat refleks guna mengontrol fungsi involunter seperti pernafasan, bersin, menelan, batuk, pengeluaran saliva, muntah.
Serebrum: merangsang dan menghambat dan tanggung jawab terhadap koordinasi gerak, keseimbangan, posisi.
Sirkulasi Serebral
Menerima kira-kira 20% dari curah jantung/750 ml per menit. Sirkulasi ini sangat dibutuhkan, karena otak tidak menyimpan makanan, sementara mempunyai kebutuhan metabolisme yang tinggi.
Pembuluh darah yang mendarahi otak tardiri dari :
1)         Sepasang pembuluh darah karotis : denyut pembuluh darah besar ini dapat kita raba dileher depan, sebelah kiri dan kanan dibawah mandibula, sepasang pembuluh darah ini setelah masuk ke rongga tengkorak akan bercabang menjadi tiga :
a)         Sebagian menuju ke otak depan (arteri serebri anterior)
b)         Sebagian menuju ke otak belakang (arteri serebri posterior)
c)         Sebagian menuju otak bagian dalam (arteri serebri interior)
Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut arteri komunikan posterior.
2)      Sepasang pembuluh darah vertebralis : denyut pembuluh darah ini tidak dapat diraba oleh karena kedua pembuluh darah ini menyusup ke bagian samping tulang leher, pembuluh darah ini memperdarahi batang otak dan kedua otak kecil, kedua pembuluh darah tersebut akan saling berhubungan pada permukaan otak pembuluh darah yang disebut anastomosis.
Suplay darah ke Medula Spinalis
Menerima nutrisi melalui cabang-cabang arteri vetebralis melalui cabang aorta thorakalis dan aorta abdominalis. Arteri medula spinalis dan sistem vena berjalan secara paralel satu dengan lainnya dan mempunyai hubungan percabangan yang luas untuk mencukupi suplay darah ke jaringan-jaringan. Dibentuk oleh pleksus koroideus, dan bersirkulasi dalam ventrikel-ventrikel dan ruang subaraknoid. CSF terdiri dari air, elektrolit, oksigen, karbondioksida, glukosa dan sedikit protein, serta konsentrasi kalium dan klorida yg tinggi. Produksi dan reabsorbsi CSF berlangsung konstan serta volume total CSF sekitar 125 cc dengan kecepatan sekresi CSF perhari 500 – 750 cc. Tekanan dalam cairan CSF sekitar 5 sampai 12 cm H2O.



3.      Etiologi
  1. Sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh dan cedera oleh raga.
  2. Cedera kepala terbuka sering disebabkan akibat benda tajam dan tembakan sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang dan laserasi dura mater.
Macam-macam Pendarahan pada Otak
a.    Intraserebral hematoma (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm, perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma tersebut dapat menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari tulang kepala.
b.    Subdural hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan jaringan otak, dapat terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara dura mater, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural hematoma adalah hematoma yang terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi subdural hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut terjadi antara 3 hari – 3 minggu dan subdural hematoma kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yanag paling sering berupa hemiparese/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent).
Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari 1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak, serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya.
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang, dan edema pupil.
c.    Epidural hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media (paling sering), vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka semakin baik prognosisnya klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang pemberian analgetik. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya lebih dari 20 cc atau lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembangkan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanaya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika saat operasi didapatkan dura mater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
4.      Patofisiologi
Beberapa variabel yang mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah :
a)      Lokasi dan arah dari penyebab benturan
b)      Kecepatan kekuatan yang datang
c)      Permukaan dari kekuatan yang menimpa
d)     Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan
Kerusakan otak yang dijumpai pada cedera kepala dapat terjadi melalui dua cara
  1. Efek langsung ; trauma pada fungsi otak
  2. Efek tidak langsung ; kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan otak. Semua ini berakibat terjadinya akselerasi- deselarasi.
Derajat kerusakan dipengaruhi oleh kekuatan yang menimpa. Ada 2 macam kekuatan yang dihasilkan :
    1. Cidera setempat yang disebabkan oleh benda tajam, kerusakan neurologik terjadi pada tempat yang terbatas pada tempat serangan.
    2. Cidera menyeluruh yang lebih lazim dijumpai pada trauma tumpul dan setelah kecelakaan.
Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan pada otak. Banyak energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu : rambut, kulit kepala dan tengkorak. Tetapi pada cidera berat penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak.
Jika kepala bergerak dan berhenti dengan mendadak dan kasar, kerusakan tidak hanya disebabkan oleh cidera setempat tetapi juga oleh akselerasi dan deselarasi. Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras bergerak, sehingga memaksa otak membantur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan benturan dan dampak yang terjadi adalah cedera jaringan otak.
Setiap kali jaringan mengalami cidera, akan terjadi perubahan isi cairan intrasel dan ekstrasel. Penigkatan suplai darah ketempat dimana terjadi cidera yang menimbulkan tekanan intracranial mengalami penigkatan sebagai akibat cidera sirkulasi otak untuk mengatur volum darah ke otak yang mengalami kemampuannya sehingga menyebabkan iskemia pada otak.
Gambar

5.      Tanda dan Gejala
 Tanda dan gejala yang timbul dapat berupa ganguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, serangan (onset) tiba-tiba berupa defisit neuorologis, perubahan tanda vital, ganguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo(pusing), ganguan pergerakan, kejang, dan syok akibat cidera multi sistem.

Klasifikasi cidera kepala berdasarkan mekanisme dan keparahan cidera :
·         Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi duramater :
  1. Trauma tumpul ; kecepatan tinggi (tabrakan)
  2. Trauma tajam ; luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.
  3. Keparahan cidera :
a.                   Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1)      Skor skala coma Glasgow 13 – 15 (sadar penuh dan orientatif)
2)      Tidak ada kehilangan kesadaran
3)      Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
4)      Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5)      Pasien dapat menderita haematoma pada kulit kepala
6)      Tidak ada criteria cedera sedang – berat
b.                  Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1)      Skor skala coma Glasgow 9 – 12 (letargi)
2)      Amnesia paska trauma
3)      Muntah
4)     Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinorea cairan serebrospinal)
5)      Kejang
c.                   Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1)      Skor skala coma Glasgow ≤ 8 (coma)
2)      Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3)      Tanda neurologis vocal
4)      Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium.
6.      Test Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
  1. CT Scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
2.      MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras radio aktif
3.      Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4.      Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
5.      Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema) fragmen tulang
6.      BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
7.      PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolisme otak
8.      CSS (Cairan Serebrospinal)
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
9.      Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
10.  Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
11.  Rontgen thorak 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12.   Toraksentesis menyatakan darah/cairan
  1.  Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa
14.   Pemeriksaan laboratorium ; hematokrit, trombosit, darah lengkap, masa protombin.
7.      Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor mempertahankan fungsi  ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia  serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolism intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan kranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
  1. Bedrest total
  2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
  3. Pemberian obat-obatan
1)         Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma
2)         Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk mengurangi vasodilatasi.
3)         Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
4)         Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
  1. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
  2. Pada trauma berat. Hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama ( 2 – 3 hari) tidak perlu banyak cairan. Dextrosa 5% selama 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
8.      Komplikasi
Komplikasi yang timbul adalah peningkatan TIK, kehilangan sensori dan motorik, kerusakan otak, dan disfungsi syaraf cranial.Tindakan operatif yang dapat diberikan adalah kraniotomy atau trepanasi serta debridement.

B.    ASUHAN KEPERAWATAN PADA CEDERA KEPALA

1.    PENGKAJIAN 

            Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
a.    Anamnesis           
Keluhan utama yang sering  menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung seberapa jauh dampak trauma kepala yang di sertai dengan penurunan tinngkat kesadaran.          
1)    Riwayat penyakit saat ini           
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat KLL, jatuh dari dari ketinggian dan trauma langsung kekepala. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadarn di hubungkan dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.      
2)    Riwayat penyakit terdahulu       
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit jantung anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang berlebihan.
3)    Riwayat penyakit keluarga         
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan DM.

b.    Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.           
c. Pemeriksaan fisik   
Setelah melkukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.        

d.    Keadaan umum   
Pada pasien yang mengalami cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran CKR atau COR dengan GCS 13-15, CKS dengan GCS 9-12, CKB dengan GCS≤8

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN           
1.      Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral           
2.      Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan     
3.      Gangguan nutrisi kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.        


3. INTERVENSI
DX 1: Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,  
Intervensi
Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital
klien dan status relirologis klien
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma multiple.
Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang berhubungan dengan trauma multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah hiperventilasi
(pernafasan cheyne – stokes).
Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan
serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit
dan kedalaman persepsi.
Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak,
merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan handuk kecil /
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala
Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah lain yang selanjutnya akan
meningkat TIK.
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 –
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai
indikasi
Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi :
- Diuretik
- Steroid
- Analgetik sedang
- Sedatif
      Untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak
TIK.
      Menurunkan inflasi, yang
selanjutnya menurunkan edema
jaringan.
      Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ pada TIK tetapi  harus digunakan dengan hasil untuk mencegah gangguan
pernafasan.
      Untuk mengendalikan
kegelisahan agitas
DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi
Rasional
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk control diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan. Jangan mematikan alarm.
Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat digunakan.
Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti.
Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin.
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa fungsi spirometer.
Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
  Pemberian antibiotik.
  Pemberian analgesic.
  Fisioterapi dada.
  Konsul foto thoraks.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

DX 3: gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium. 
Intervensi
Rasional
Mandiri
Evaluasi kemampuan makan klien
Klien dengan tracheostomy tube mungkin sulit untuk makan, tetapi klien dengan endotracheal tube dapat menggunakan mag slang atau memberi makanan parenteral.
Observasi/timbang berat badan jika memungkinkan.
Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan kekurangan intake nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator.
Catat pemasukan peroral jika diindikasikan. anjurkan klien untuk makan
Nafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi yang masuk pun berkurang. menganjurkan klien memilih makanan yang di senangi dapat dimakan ( bila sesuai anjuran).
Berikan makanan kecil dan lunak
Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, dan mencegah gangguan pada lambung.
Kolaborasi
Aturlah diet yang diberikan sesuaii keadaan klien
Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat sangat diperlukan selama pemasangan ventilator untuk mempertahankan fungsi otot-otot respirasi. karbohidrat dapat berperan dan penggunaan lemak meningkat untuk mencegah terjadinya produksi co2 dan pengaturan sisa respirasi.
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan seperti serum, transverin,BUN/kreatinin dan glukosa.
Memberikan informasi yang tepat tentang keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.



D. EVALUASI
1.      Fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
2.      Tidak ada tanda- tanda peningkatan TIK
3.      Tingkat kesadaran membaik
4.      Pola napas kembali efektif
5.      Kebutuhan klien terpenuhi














BAB III
PENUTUP
                               I.            KESIMPULAN
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271)
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak.          

              II.      SARAN        
            Setelah pembuatan makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat membaca makalah ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah ini terkait tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan dengan satu sumber ilmu (materi terkait), sehingga dalam tindakan keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.
Saran yang disampaikan kepada Mahasiswa Keperawatan adalah :
1. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.
2.   Dapat menilai batasan GCS.        
3.   Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien dengan cedera kepala.     
4.   Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun klien, baik di rumah sakit maupun di rumah.           


DAFTAR  PUSTAKA

·         Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
·         Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika  
·         Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
·         Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga
·         http://id.scribd.com/doc/85827418/Laporan-Kasus-Cedera-Kepala  (di unduh pada tanggal 21 November 2012)        

·         http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html (di unduh pada tanggal 26 November 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar