AYUNDARI VITRI ARIANTI NPM : 012.01.2560 SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM

Jumat, 16 Mei 2014

ASKEP KLIEN DENGAN SINDROMA GUILLAIN BARRE

MAKALAH KEPERAWATAN NEUROBEHAVIOR II
“ASKEP KLIEN DENGAN SINDROMA GUILLAIN BARRE”






DI SUSUN OLEH KELOMPOK:  I  (SATU)
SEMESTER IV. D
·        ARDI WIRANTO                                  (01)
·        ARI AFRIAN                                         (02)
·        ARIANTO                                              (03)
·        ASWINDA LESTARI                           (04)
·        AYU INDA PITASARI                          (05)
·        AYUNDARI VITRI ARIANTI               (06)
·        BIRNA PRATAMA P.                          (07)

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM



KATA PENGANTAR


            Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Neurobehavior ini dengan judul “Askep Sindrom Guillain Barre”. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Neurobehavior II Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes       Mataram.

Dalam menyusun makalah ilmiah ini, kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan kepada teman teman yang telah mendukung        terselesaikannya makalah        ini.

Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah  ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

                                                                                    Mataram, 12 Mei 2014

                                                                                                Penyusun







DAFTAR ISI

COVER………………..………………………………………………………....….i
KATA PENGANTAR………………………………………………………….......ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....….iii
BAB I  PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang …………………………………………………...............1
B.        Tujuan ………..…………………...…...………………………………....2
C.        Rumusan Masalah …………………………………………………...……2
BAB II  PEMBAHASAN
A.       Pengertian ……………………………………………...………….……...3
B.        Etiologi …………………………………………………………….…...3-4
C.        Tanda dan Gejala ………………………………………….………...…5-6
D.       Patofisiologi …………….………………………………………....……6-9
E.        Pathway …………………………………...……………………….……10
F.         Komplikasi ……………………………………………………………...11
G.       Penatalaksanaan ………………………………………………….….11-14
BAB III  ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN LEUKEMIA
                                          1.      Pengkajian …………………………………………………...…15-20
                                          2.      Diagnosa Keperawatan ……………………………………...…….21
                                          3.      Intervensi ……………………………………………….………21-25
BAB IV  PENUTUP
            3.1 Kesimpulan ………………………………………………….....................26
            3.2 Saran……………………………………………………………................27
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………....……...28








BAB 1
PENDAHULUAN

A.          LATAR BELAKANG
Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut, Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati perifer.
GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negara–negara berkembang dan merupakan penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki – laki dari pada perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3 minggu sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 iga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% pesampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Tnderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.

B.        TUJUAN

1.   TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar jurusan keperawatan khususnya pada mata kuliah keperawatan Neurobehavior II tentang asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi system saraf pusat.

2.   TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penulis dalam menyusun makalah ini agar mahasiswa mengetahui bagaimana asuhan keperawatan klien dengan infeksi dan inflamasi system saraf pusat: Sindrom Guillain Bare, mengetahui penyebab, patofisiologi, tanda dan gejala, komplikasi yang mungkin terjadi, serta penatalaksanaan dari klien yang mengalami sindrom Guillain Bare.



C.          RUMUSAN MASALAH

1.            Apa pengertian dari sindrom guillain barre.
2.            Bagaimana penyebab terjadinya sindrom guillain barre.
3.            Apa saja tanda dan gejala dari sindrom guillain barre.
4.            Bagaimana patofisiologi sindrom guillain barre.
5.            Apa saja komplikasi dari sindrom guillain barre.
6.            Bagaimana penatalaksanaan untuk klien guillain barre.
7.            Bagaimana asuhan keperawatan pada klien yang mengalami sindrom guillain barre.








BAB II
PEMBAHASAN

A.          PENGERTIAN

GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom.
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.


B.           ETIOLOGI

            Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
·         Infeksi
·         Vaksinasi
·         Pembedahan
·         Penyakit sistematik :
  Keganasan                                           
  Systemic lupus erythematosus
  Tiroiditis
  Penyakit Addison
·         Kehamilan atau dalam masa nifas
            SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.


Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB

Infeksi
Definite
Probable
Possible
Virus
CMVEBV
HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox
InfluenzaMeaslesMumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri
Campylobacter Jejeni Mycoplasma
Pneumonia
Typhoid
Borrelia BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria



C.          TANDA DAN GEJALA

1.                  Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.

2.                  Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.

3.                  Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.

4.                  Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5.                  Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita

6.         Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .


D.          PATOFISIOLOGI

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.  Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator  dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan.  Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.


      E.     PATHWAY






F.           KOMPLIKASI

1.            Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.
2.            Tetraparese oleh karena penyebab lain.
3.            Hipokalemia.
4.            Kelumpuhan otot pernafasan
5.            Dekubitus.
6.            Paralisis otot persisten
7.            Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
8.            Aspirasi
9.            Retensi urin
10.        Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
11.        Nefropati, pada penderita anak
12.        Tromboemboli, pneumonia, ulkus
13.        Aritmia jantung
14.        Ileus

G.          PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan pemeliharaan fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.
1.      Dukungan pernafasan dan kardiovaskuler
Jika vaskulatur pernafasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik. Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilator dalam beberapa minggu. Gagal pernafasan harus diantisipasi sampai kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi.  Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan memungkinkan disritmia teridentifikasi dan diobati dengan depat. Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh Valsava maneuver, batuk, suksioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

2.      Plasmaferesis
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.
3.      Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan SGB. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara. Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan narkotik.
4.      Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat            oleh     dokter dan      perawat.
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan ini,terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang memberikan kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis, mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien yang mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi ketakutan.
6.      Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan pemulihan.  Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama pasien. Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan keluarga rasa aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara.

ü  TERAPI FARMAKOLOGI
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

1.   Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

2.   Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

3.   Pengobatan imunosupresan:
-     Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
-     Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
  6 merkaptopurin (6-MP)
  Azathioprine
  Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.









BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SINDROM GUILLAIN BARE

A.          PENGKAJIAN

Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a.   Anamnesis
-     Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama, pendidikan, dsb.
-     Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
-     Riwayat Penyakit, meliputi:
1.       Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.

2.       Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

-     Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.

b.   Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

-     B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
-     B2 (Blood)
 Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik Hipotensi  atau TD meningkat ( hipertensi transien ) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

         -     B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
a.   Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.

b.   Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalam perubahan.

c.   Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralis ocular.
Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

d.   System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .

e.   Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum derajat reflexs dalam respons normal.

f.    Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.

g.   System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

      -      B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

      -     B5 (Bowel)                                                                       
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral kurang terpenuhi.

      -     B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak dibantu orang lain.

c.               Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada :
       Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
       Lumbal pungs dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.
       Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
       Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respons imun pada antigen saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
       Uj fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik.




B.           DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :
  • Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
  • Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
  • Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.
  • Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
  • Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.          


C.          INTERVENSI KEPERAWATAN

Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal


Intervensi
Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot bantu pernapasan  
Menjadi parameter monitoring serangan gagal napas dan menjadi data dasar intervensi selanjutnya
Evaluasi keluhan sesak napas bak secara verbal maupun nonverbal


Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan ireguler,takikardia dan perubahan pola napas.
Beri ventilasi mekanik




Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan perkembangan kearah kemunduran, yang mengndikasikan kearah memburuknya kekuatan otot pernapasan
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan




Penurunan kapasitas vital dhubungkan dengan kelemahan otot-otot pernapasan saat menelan,sehingga hal ini menyebabkan kesukaran saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi :
Pemberian humidifikasi oksigen 3L/Menit
Membantu pemenuhan oksigen yang sangat dperlukan tubuh dengan kondisi laju metabolism sedang meningkat


Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Criteria hasil : stabilitas hemodinamik baik
Intervensi
Rasional
Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan
Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena umum karena nyeri cemas pengeluaran katekolamin.
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi
Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi.
Catat murmur
Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung, (kelainan katup, kerusakan septum, atau fibrasi otot papilar).
Pantau frekuensi jantung dan irama
Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi disritma.
Kolaborasi :
Berikan Otambahan sesuai indikasi

Dapat meningkatkan saturasi oksgean dalam darah


Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan asupan nutrisi
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi klien oral
Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan.
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisisensi aktivitas parasimpatis
Ilius paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini, makanan melalui intravena dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan perawat mementau bising usus sampai terdengar
Berikan nutrisi via NGT
Indikasi jika klien tidak mampu menelan melalui oral
Berikan nutrisi via oral bila paralis menelan berkurang
Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati


Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien meningkat atau teradaptasi
Criteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
Intervensi
Rasional
Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan mobilitas fisik
Merupakan data dasar untuk melakukan intervensi selanjutnya
Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
Bila pemulihan mulai untuk dlakukan, klien dapat  hipotensi ortostatik ( dari disfungsi otonom ) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menolong mereka mengambil posisi duduk tegak
Hindari factor-faktor yang memungkinkan terjadinya trauma pada saat klien melakukan mobilisasi
Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalalmi kompresi neuropati, paling sering saraf ulnar dan peritonial
Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis
Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan rentang gerak secara pasif  paling sedikit dua kali sehari
Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
Deteksi awal thrombosis vena profunda dan dekubitus sehingga dengan penemuan yang cepat penanganan lebih mudah dilaksanakan.
Kolaborasi dengan tim fisisoterapis
Mencegah deformities kontraktur dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dean lathan rentang gerak


Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi
Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut
Cemas berkelanjutan dapat memberikan dampak serangan jantung selanjutnya
Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingi klien, dan lakukan tundakan bila menunjukkan perilaku merusak
Reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah
Hindari konfrantasi
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakkan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan
Orientasi dapat menurunkan kecemasan

















BAB IV
                                                              PENUTUP        

A.          KESIMPULAN

o   Sindroma Landry Guillain Barre adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan oleh suatu proses infeksi yang akut.
o   Sindroma ini dapat disebabkan oleh adanya Infeksi, Vaksinasi, Pembedahan, Penyakit sistematik.
o   Kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma Guillain bare adalah melalui mekanisme imunlogi.
o   Manifestasi Klinis dari Sindrom Guillain Bare ini, antara lain: kelumpuhan, gangguan sensibilitas, gangguan saraf kranial, gangguan fungsi otonom, kegagalan pernapasan, dan papiledema.
o   Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
o   Pengkajian meliputi: anamnesa: identitas klien, keluhan, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan diagnostic.
o   Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
o   Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan.
o   Beberapa diagnosa muncul berdasarkan gejala yang terjadi pada klien yang mengalami Sindrom Guillain Bare.

B.           SARAN

Demikian makalah ini kami susun sebagaimana mestinya semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi tim penyusun dan semua mahasiswa dan mahasiswi kesehatan pada umumnya.
Kami sebagai penyusun menyadari akan keterbatasan kemampuan yang menyebabkan kekurangsempurnaan dalam makalah ini, baik dari segi isi maupun materi, bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya agar makalah selanjutnya dapat lebih baik.



















DAFTAR PUSTAKA



·         Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
·         Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.
·         Jukarnain.,2011.” Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan”. Makassar.
·         R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
·         http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/2003/sindroma-guillain-barre-sgb.html
·         http://srigalajantan.wordpress.com/2009/10/31/askep-sindrom-guillain-barre.html
·         http://minepoemss.blogspot.com/2010/03/sindrom-guillain-barre-sgb.html